Contoh yang sering terjadi adalah merangsang dan merusak lambung. Sebab itu, asam mefenamat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang mengidap gangguan lambung,dan sebaiknya diberikan pada saat lambung tidak dalam kondisi kosong atau setelah makan.Berikut penjelasannya:
Indikasi:
Dapat menghilangkan nyeri akut dan kronik, ringan sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer, termasuk nyeri karena trauma, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri sehabis operasi, nyeri pada persalinan.
Dosis:
Digunakan melalui mulut (per oral), sebaiknya sewaktu makan.
Dewasa dan anak di atas 14 tahun :
Dosis awal yang dianjurkan 500 mg kemudian dilanjutkan 250 mg tiap 6 jam.
Dismenore
500 mg 3 kali sehari, diberikan pada saat mulai menstruasi ataupun sakit dan dilanjutkan selama 2-3 hari.
Menoragia
500 mg 3 kali sehari, diberikan pada saat mulai menstruasi dan dilanjutkan selama 5 hari atau sampai perdarahan berhenti.
Efek samping:
Dapat terjadi gangguan saluran cerna, antara lain iritasi lambung, kolik usus, mual, muntah dan diare, rasa mengantuk, pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, vertigo, dispepsia.
Pada penggunaan terus-menerus dengan dosis 2000 mg atau lebih sehari dapat mengakibatkan agranulositosis dan anemia hemolitik.
Kontraindikasi:
Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma dan hipersensitif terhadap asam mefenamat.
Pemakaian secara hati-hati pada penderita penyakit ginjal atau hati dan peradangan saluran cerna.
Interaksi Obat:
Asam mefenamat akan bereaksi dengan Obat-obat anti koagulan oral seperti warfarin; asetosal (aspirin) dan insulin.
2.1 Asal dan
Kimia
Kloramfenikol
merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air (1:400) dan rasanya sangat
pahit. Rumus molekul kloramfenikol ialah
Kloramfenikol
R= -NO2
Tiamfenikol
R=-CH3SO2
2.2
Farmakodinamik
Efek anti
mikroba
Kloramfenikol
bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom
sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Kloramfenikol
bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri
meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus,
Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria,
Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.
Resisitensi
Mekanisme
resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap P.aeruginosa.
Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang
mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.
Beberapa
strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat resisten; S.
Aureus umumnya sensitif, sedang enterobactericeae banyak yang telah resisten.
Obat ini
juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K. Pneumoniae, dan P.
Mirabilis, kebanyakan Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii
resisten, juga kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi
2.3
Farmakokinetik
Setelah
pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah
tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan dalam bentuk
ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk
ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.
Untuk
pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol suksinat yang akan
dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh
eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang
dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat
dengan albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan
tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.
Di dalam
hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang pada
pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi menjadisenyawa arilamin
yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan
oral diekskresikan melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi
hanya 5-10% yang berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau
hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi
terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi
tubulus.
Pada gagal
ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga
tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan
fungsi hepar.
Interaksi
dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid
fenitoin, dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar.
Dengan demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan berasama
kloramfenikol. Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan
memperpendek waktu paruh kloramfenikolsehingga kadar obat menjadi
subterapeutik.
Antibakterial
|
Metabolism
kloramfenikol ditingkatkan oleh rifampicin (sehingga menurunkan kadar dalam
darah kloramfenikol)
|
Antikoagulan
|
Kloramfenikol
meningkatkan efek antikoagulan koumarin
|
Antidiabetik
|
Kloramfenikol
meningkatakn efek sulfonilurea
|
Antiepilepsi
|
Kloramfenikol
meningkatkan kadar fenitoin dalam darah (meningkatkan risiko toksisitas);
pirimidon meningkatkan metabolism kloramfenikol (menurunkan kadarnya dalam
darah)
|
Antipsokotik
|
Hindari
penggunaan bersamaan kloramfenikol dengan klozapin (meningkatkan risiko
agranulositosis)
|
Barbiturat
|
Barbiturat
mempercepat metabolism kloramfenikol sehingga menurunkan kadarnya dalam darah
|
Siklosporin
|
Koramfenikol
mungkin meningkatkan kadar siklosporin dalam darah
|
Hidroxycobalamin
|
Kloramfenikol
menurunkan respon terhadap hydroxycobalamin
|
Estrogen
|
Mungkin
menurunkan efek kontrasepsi estrogen
|
Tacrolimus
|
Kloramfenikol
mungkin menurunkan kadar tacrolimus dalam darah
|
Vaksin
|
Antibakterial
menginaktifkan vaksin tifoid oral
|
2.4 Penggunaan
klinik
Banyak
perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya
obat ini digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.Infuenzae
juga pada pneumonia; abses otak; mastoiditis; riketsia; relapsing fever;
gangrene; granuloma inguinale; listeriosis; plak (plague); psitikosis;
tularemia; whipple disease; septicemia; meningitis.
Infeksi lain
sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain
yang masih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan pada pasien
neonatus, pasien dengan gangguan faal hati, dan pasien yang hipersensitif
terhadapnya. Bila terpaksa diberikan pada neonatus, dosis jangan melebihi 25
mg/kgBB sehari.
DEMAM TIFOID
Kloramfenikol
tidak lagi menjadi plihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena telah
tersedia oba-obat yang lebih aman seperti siprofloksasin dan seftriakson.
Walaupun demikian, pemakaiannya sebagai lini pertamamasih dapat dibenarkan bila
resistensi belum merupakan masalah.
Untuk
pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu
bebas demam. Bila terjadi relaps biasanya dapat diatasi dengan memberikan
terapi ulang. Untuk anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi
dalam beberapa dosis selama 10 hari.
Untuk
pengobatan tifoid ini dapat pula digunakan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg
Bbsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis
separuhnya.
Suatu uji
klinikdi Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4 x500 mg/hari) dan siprofloksasin
(2×500 mg/hari) per oral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak bermakna
walaupun siprofloksasin dapat membersihkan sum-sum tulang belakang dari
salmonela.
Hingga
sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif untuk mengobati status
karier demam tifoid, namun beberapa studi menunjukkan bahwa norloksasin dan
siprofloksasin mungkin bermanfaat untuk itu.
Gastroentritis
akibat Salmonella sp. Tidak perlu diberi antibiotik karena tidak mempercepat
sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang status karier.
MENINGITIS
PURULENTA
Kloramfenikol
efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh H.Influenzae.
Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan bila obat-obat lebih aman seperti
seftriakson tidak tersedia. Dianjurkan pembaerian klramfenikol bersama suntikan
ampisilin sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu
dianjurkan dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
RIKETSIOSIS
Tetrasiklin
merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Bila oleh karena suatu hal
tetrasiklin tidak dapat diberikan, maka dapat diberika kloramfenikol..
2.5 Efek
samping
REAKSI
HEMATOLOGIK
Terdapat
dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan manfestasi depresi
sumsum tulang belakang. Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresif dan
pulih bila pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang terlihat anemia,
retikulositopenia, peningkatan serum iron, dan iron binding capacity
serta vakuolisasi seri eritrosit muda. Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol
dalam serum melampaui 25 µg/ml. Bentuk ke dua adalah anemia aplastik dengan
pansitopenia yang irreversibel dan memiliki prognosis yang sangat buruk.
Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insiden
berkisar antara 1: 24000 – 50000. efek samping ini diduga efek idiosinkrasi dan
mngkin disebabkan oleh kelainan genetik.
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa kloamfenikol yang diberikan secara parenteral jarang
menimbulkan anemia aplastik namun hal ini belum dapat dipastikan kebenarannya.
Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien defisiens enzim G6PD
bentuk mediteranean.
Hitung sel
darah yang dilakukan secara berkala dapat memberi petunjuk untuk mengurangi
dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk hitung leukosit dan hitung
jenis tiap 2 hari. Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindari.
Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi baru selama pemberian kloramfenikol
menunjukkan adanya kemungkinan leukopeni.
REAKSI
SALURAN CERNA
Bermanifestasi
dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis
REAKSI
ALERGI
Kloramfenikol
dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam
Tifoid walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
SINDROM GRAY
Pada
neonatus, terutama pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200mg/kg BB)
dapat timbul sindrom Gray, biasanya antara hari ke-2 sampai hari ke-9 masa
terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu,
pernapasan cepat dantidak teratur, perut kembung, sianosis, dan diare dengan
tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pada hari berikutnya tubuh
bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi pula hipotermia. Angka
kematian kira-kira 40%, sedangkan sisanya sembuh sempurna. Efek toksik ini
diduga disebabkan oleh; (1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase
belum sempurna dan, (2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat
diekskresi dengan baik oleh ginjal. Untuk mengurangi kemungkinan terjadimya
efek samping ini maka dosis kloramfenikol untuk bayi berumur kurang dari 1
bulan tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur ini dosis 50 mgKg/BB
biasanya tidak menimbulkan efek samping tersebut.
REAKSI
NEUROLOGIK
Dapat
terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
Sediaan
a.
Kloramfenikol
Terbagi
dalam bentuk sediaan :
Kapsul 250
mg, Dengan cara
pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau 1-2 kapsul 4 kali sehari.Untuk infeksi
berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan perbaikan
klinis.
Salep mata 1
%
Obat tetes
mata 0,5 %
Salep kulit
2 %
Obat tetes
telinga 1-5 %
Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.
Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.
Kloramfenikol
palmitat atau stearat
Biasanya
berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l mengandung Kloramfenikol palmitat
atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol). Dosis ditentukan oleh dokter.
Kloramfenikol
natrium suksinat
Vial berisi
bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus
dilarutkan dulu dengan 10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100
mg/ml).
Tiamfenikol
Terbagi
dalam bentuk sediaan :
- Kapsul 250 dan 500 mg.
- Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Tiamfenikol 1.5 g yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg Tiamfenikol tiap 5 ml.
- Nama generik : Klorafenikol
Nama dagang Indonesia : Combisetin (Combiphar),
Farsycol (Ifars), Kalmicetine (Kalbe Farma), Lanacetine (Landson)
Indikasi : Pengobatan tifus (demam tifoid) dan
paratifoid, infeksi berat karena Salmonella sp, H. influenza (terutama
meningitis), rickettzia, limfogranuloma, psitakosis, gastroenteristis,
bruselosis, disentri.
Kontraindikasi : Hipersensitif, anemia, kehamilan,
menyusui, pasien porfiria
Bentuk sediaan : Kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi 125
mg/5 ml, sirup 125 ml/5 ml, serbuk injek. 1g/vail.
Dosis dan aturan pakai : Dewasa : 50
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
Anak : 50-75
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
Bayi < 2
minggu : 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi tiap 6 jam. Berikan dosis
lebih tinggi untuk infeksi lebih berat. Setelah umur 2 minggu bayi dapat
menerima dosis sampai 50 mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis tiap 6 jam.
Efek samping : Kelainan darah reversible dan
ireversibel seperti anemia aplastik anemia (dapat berlanjut menjadi leukemia),
mual, muntah, diare, neuritis perifer, neuritis optic, eritema multiforme,
stomatitis, glositis, hemoglobinuria nocturnal, reaksi hipersensitivitas
misalnya anafalitik dan urtikaria, sindrom grey pada bayi premature dan bayi
baru lahir, depresi sumsum tulang
Resiko khusus : Anemia aplastik : jarang
terjadi, terjadi hanya 1 pada 25.000-40.000 penggunaan klorafenikol,
diperkirakan karena pengaruh genetic dan terjadi tidak secara langsung pada
saat menggunakan kloramfenikol tetapi muncul setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan setelah pemakaian
Gray-baby syndrome : terjadi pada bayi yang lahir premature dan pada bayi umur < 2 minggu
dengan gangguan hepar dan ginjal. Klorafenikol terakumulasi dalam darah pada
bayi khususnya ketika pemberian dalam dosis tinggi ini yang menyebabkan Gray-baby
syndrome.
0 komentar:
Posting Komentar