Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 09 Maret 2013

lirik lagu broken angel By arash ft Helena

I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart

Man dooset daram
Be cheshme man gerye nade
Na, nemitoonam
Bedoone to halam bade

I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart

On n’ lonley, broken angel
Come n’ save me before i fall apart

To harja ke bashi kenaretam
Ta akharesh divoonatam
To , to nemidooni , ke joonami , bargard pisham
La la leyli , la la leyli , la laaa

I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart

Man dooset daram
Be cheshme man gerye nade
Na, nemitoonam
Bedoone to halam bade:

I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart

On n’ lonley, broken angel
Come n’ save me before i fall apart

To harja ke bashi kenaretam
Ta akharesh divoonatam
To , to nemidooni , ke joonami , bargard pisham
La la leyli , la la leyli , la laaa

I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart

Man dooset daram
Be cheshme man gerye nade
Na, nemitoonam
Bedoone to halam bade

I’m so lonely broken angel
I’m so lonely listen to my heart

On n’ lonley, broken angel
Come n’ save me before i fall apart

To harja ke bashi kenaretam
Ta akharesh divoonatam
To , to nemidooni , ke joonami , bargard pisham
La la leyli , la la leyli , la laaa

Kamis, 07 Maret 2013

seminar kesehatan gizi

ABSTRAK
Kasus gizi buruk umumnya menimpa balita dengan latar belakang ekonomi lemah. Beragam masalah malnutrisi banyak ditemukan pada anak-anak dari kurang gizi hingga busung lapar. Menurut UNICEF saat ini ada sekitar 40 % anak Indonesia di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk. Betapa banyaknya bayi dan anak-anak yang sudah bergulat dengan kelaparan dan penderitaan sejak mereka dilahirkan.
Penyebab utama gizi buruk tidak satu. Ada banyak!. Penyebab utama kasus gizi buruk di Indonesia tampaknya karena masalah ekonomi atau kurang pengetahuan. Kemiskinan memicu kasus gizi buruk, kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyediakan makanan bergizi bagi anaknya menjadi penyebab utama meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia. Dan juga faktor alam, manusiawi ( kultur social masyarakat setempat ), pemerintah, dan lain – lain.
Persoalan gizi buruk masih menghantui sebagian warganya. Bagaimana bisa di era sekarang, masih dijumpai ribuan, dan ratusan ribu anak balita, yang menjadi pemegang masa depan Indonesia menderita gizi buruk. Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi buruk merebak barulah pemerintah melakukan tindakan ( serius ). Keseriusan pemerintah mencanangkan Gerakan Penanganan Diare dan Gizi Buruk sejak Juli 2007 lalu disusul dengan Gerakan Kedaulatan Pangan yang akan dicanangkan April 2008, keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis.
Gizi buruk akut atau busung lapar menurut Sensus WHO menunjukkan 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Kasus kekurangan gizi tercatat sebanyak 50% anak-anak di Asia, 30% anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di Amerika Latin. Dari kondisi tubuh balita yang menderita gizi buruk memiliki berat badan di bawah rata-rata, berat badan/umur Balita < 60 persen berada di bawah garis merah sehingga tergolong KEP berat. Ciri-ciri yang mudah
iiii
terdekteksi pada tanda marasmus. Komponen biologi yang melatarbelakangi KKP antara lain malnutrisi ibu, penyakit infeksi, dan diet rendah energi & protein.
Seorang ibu yang mengalami KKP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan rendah. Kurang Kalori Protein (KKP) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya, tidak tercukupi oleh diet. Sindrom kwasiorkor terjelma manakala defisiensi menampakan dominasi protein, dan maramus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah. Kombinasi kedua bentuk ini marasmik kwasiorkor, juga tidak sedikit.
Malnutrisi Primer
Penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi, rendahnya pengetahuan, dan kurangnya asupan gizi. Gejala kinis malnutrisi primer sangat bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun. Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas menurun, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, perbandingan berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut.
Malnutrisi Sekunder
Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikkan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, metabolisme, kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal. Kasus gizi buruk di kota besar biasanya didominasi oleh malnutrisi sekunder.
Asupan Gizi
Anak usia 0-2 tahun sebaiknya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI). ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan dalam perkembangan otak anak. Banyak produk susu kaleng atau susu formula mengandung asam linoleat, DHA dan sebagainya. Untuk memulihkan kondisi Balita pada status normal, dibutuhkan asupan susu yang mudah diserap tubuh yakni Entrasol. Tiap Balita diharuskan mengkonsumsi 60 kotak susu, dimana dalam hitungan 90 hari berat badan anak kembali normal. Kriteria yang dicantumkan antara lain: biasa makan beraneka ragam makanan (makan 2-3 kali sehari dengan makanan pokok, sayur, dan lauk pauk), selalu memantau kesehatan anggota keluarga, biasanya menggunakan garam beryodium, dan khusus ibu hamil, didukung untuk memenuhi kebutuhan ASI bayi minimal sampai 4 bulan setelah kelahiran. Yang nampak adalah bayi-bayi dan anak-anak yang lemah, loyo dan tanpa tenaga. Yang terdengar adalah tangisan dan jeritan putus asa bayi-bayi dan anak-anak kelaparan yang sangat membutuhkan makanan. Mereka cuma bisa menangis tetapi tak mampu meronta.
Tenaga mereka lenyap karena mengidap marasmus bahkan busung lapar. Seorang ibu yang anaknya menderita busung lapar mengakui bahwa sudah beberapa hari ini anaknya hanya makan “air bubur.” memasak sedikit beras dengan air yang sangat banyak. Akibatnya makanan itu terlalu cair untuk disebut bubur. Lebih tepat disebut air bubur. Memang, tubuh anak itu bagaikan tulang-belulang yang ditutupi kulit, perutnya buncit, matanya sayu. Tak dapat dipungkiri memang ada hubungan erat antara infeksi dengan malnutrisi. Infeksi sekecil apa pun berpengaruh pada tubuh. Sedangkan kondisi malnutrisi akan semakin memperlemah daya tahan tubuh yang pada giliran berikutnya akan mempermudah masuknya beragam penyakit. Tindak pencegahan otomatis sudah dilakukan bila faktor-faktor penyebabnya dapat dihindari. Pendidikan gizi diberikan kepada anak untuk mengarahkan kepada pembiasan dan cara makan yang lebih baik yang dilakukan dalam lingkup makro ( masyarkat luas ) dan mikro ( keluarga ).
Masalah status gizi masyarakat Indonesia kini sedang diliputi suasana keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak; kelangkaan dan mahalnya sejumlah bahan kebutuhan konsumsi masyarakat, seperti kedelai, jagung dan terigu berdampak besar terhadap asupan gizi warga masyarakat. Ini tentu berakibat buruk bagi keluarga miskin di Indonesia yang kini jumlahnya masih sangat tinggi.
Dampak paling buruk dari kekurangan, kelangkaan dan mahalnya bahan kebutuhan pangan rakyat ini memperbesar masalah gizi buruk, terutama anak balita di Indonesia. Harga kedelai yang mencapai Rp 8.000 per kg, justru jauh lebih mahal dibanding beras. Kedelai sebagai bahan utama pembuat tahu, tempe dan susu kedelai kini memang berharga mahal. Ini akan membuat setiap keluarga miskin semakin sulit membeli tahu-tempe yang dulu murah tetapi bergizi tinggi. Sebagai gantinya, semakin banyak orangtua yang terpaksa hanya memberi makan dengan lauk kerupuk kepada anaknya.
Sebelum harga kedelai meroket saja kita masih sulit mengatasi kasus gizi buruk di Tanah Air. Misalnya di DKI Jakarta, Bogor, NTB, NTT, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sejumlah provinsi lainnya. Padahal waktu itu harga tahu-tempe masih murah. Jadi, kalau pemerintah sampai gagal dalam mengembalikan harga kedelai ke posisi semula, kasus gizi buruk bisa semakin parah. Ini harus cepat teratasi. Bila tidak, dampaknya sangat buruk bagi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, sekaligus merupakan ancaman lost generation. Lebih-lebih Indonesia masih menghadapi tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.
Faktor kemiskinan sering menimbulkan kasus gizi buruk, sebab tekanan ekonomi membuat kuantitas maupun kualitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi rendah. Faktor penyebab yang lain adalah kurangnya pemahaman tentang masalah gizi, buruknya pelayanan kesehatan, dan kondisi lingkungan
Data dari Depkes menunjukkan, Indonesia sebenarnya pernah berhasil menekan angka kasus gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita. Yakni menjadi 37,5% (1989), 35,5% (1992), 31,6 % (1995), 29,5% (1998), 26,4% (1999), dan 24,6% (2000). Namun, angka-angka tersebut kembali meningkat. Yakni menjadi 26,1% (2001), 27,3% (2002), 27,5% (2003), dan 29% (2005).
Antara 1989-2000 intervensi gizi dari pemerintah memang lebih cepat dilakukan saat petugas menemukan kasus gizi kurang atau gizi buruk pada anak balita. Hal itu, menurut hasil penelitian, karena masih berfungsinya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan tenaga-tenaga medis wajib praktik yang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah.
Namun, saat ini, dari 250.000-an posyandu di Indonesia tinggal 40% yang masih aktif. Jadi, praktis tinggal sekitar 43% anak balita yang terpantau. Tantangan penanggulangan masalah gizi bahkan terasa lebih besar sejak era otonomi daerah. Walaupun kini pemerintah daerah (pemda) sebenarnya berperan lebih besar untuk mengatasi tantangan tersebut, namun realitasnya tidak selalu demikian.
Bila kita mengacu pada garis kemiskinan menurut standar organisasi pangan sedunia (FAO), yakni penghasilan 2 dolar AS per hari, maka kini lebih dari 110 juta jiwa Indonesia (53% dari total penduduk) masih di bawah garis kemiskinan. Sebab itu, mustahil kita bisa mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat tanpa adanya upaya perbaikan ekonomi di dalam rumah tangga.
bagi pemerintah agar segera mengendalikan harga sembako, memberdayakan ekonomi rakyat kecil, dan memacu aktivitas posyanduKomitmen pemda terhadap pembangunan di bidang kesehatan masih minim.
Padahal, pada era otonomi daerah ini, perannya justru sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan yang menuntut lebih banyak perhatian sehubungan sewaktu-waktu bisa terjadi bencana banjir dan angka kemiskinan masih tinggi. Alokasi anggaran untuk kesehatan yang hanya 3% dari PDB menunjukkan lemahnya komitmen pemda untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di Malaysia, Thailand dan Filipina mengalokasikan 6-7 kali lipat anggaran lebih besar dibanding Indonesia untuk pendidikan dan kesehatan..
Menurut pemerintah, angka kemiskinan pada 2006 mengalami penurunan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Namun, data dari Departemen Kesehatan (Depkes), menyatakan anak balita yang terkena gizi buruk melonjak dari 1,8 juta (2005) menjadi 2,3 juta anak (2006). Selain itu lebih dari 5 juta balita terkena gizi kurang. Lebih tragis lagi, dari seluruh korban gizi kurang dan gizi buruk tadi, sekitar 10% berakhir dengan kematian.
Situasi-kondisi pangan nasional dewasa ini benar-benar memprihatinkan. Maka pemerintah kita harapkan bisa segera menggalakkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dengan dukungan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang mampu mengaktifkan posyandu agar SKPG berfungsi lagi. Tugasnya memantau status gizi masyarakat hingga ke pelosok desa terpencil. Jika ada warga yang kedapatan terkena gizi buruk, petugas puskesmas terdekat harus langsung menangani. Posyandu harus diaktifkan kembali, sebab pencatatan di posyandu akan memberikan gambaran riil ihwal laporan perkembangan kasus gizi buruk hingga ke pelosok desa. Di posyandu, berat anak ditimbang dan dicatat. Bila ada ibu tidak membawa anak balitanya ke posyandu, petugas harus aktif mendatangi rumahnya. Namun, seiring perkembangan politik nasional dan lokal terkait otonomi daerah, banyak pejabat yang tidak sensitif terhadap meningkatnya jumlah penderita gizi buruk yang tengah melanda keluarga miskin. Akibatnya, para petugas di bawahnya tidak bisa lagi melayani kesehatan masyarakat secara optimal
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga ( kemampuan memperoleh makanan untuk semua anggotannya ), masalah kesehatan, kemiskinan, pemerataan, dan kesempatan kerja. Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh sudah muncul masalah baru. Masalah gizi di Indonesia terutama KEP masih lebih tinggi daripada Negara ASEAN lainnya.Sekarang ini masalah gizi mengalami perkembangan yang sangat pesat, Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit dan kematian anak, meskipun sering luput dari perhatian. Sebagian besar anak di dunia 80% yang menderita malnutrisi bermukim di wilayah yang juga miskin akan bahan pangan kaya zat gizi, terlebih zat gizi mikro Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi yaitu kualitas hidangan yang mengandung semua kebutuhan tubuh. Akibat dari kesehatan gizi yang tidak baik, maka timbul penyakit gizi, umumnya pada anak balita diderita penyakit gizi buruk
Hubungan antara kecukupan gizi dan penyakit infeksi yaitu sebab akibat yang timbal balik sangat erat. Berbagai penyakit gangguan gizi dan gizi buruk akibatnya tidak baiknya mutu/jumlah makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh masing – masing orang. Jumlah kasus gizi buruk pada balita yang ditemukan dan ditangani tenaga kesehatan
Masalah gizi semula dianggap sebagai masalah kesehatan yang hanya dapat ditanggulangi dengan pengobatan medis/kedokteran. Namun, kemudian disadari bahwa gejala klinis gizi kurang yang banyak ditemukan dokter ternyata adalah tingkatan akhir yang sudah kritis dari serangkaian proses lain yang mendahuluinya
Gizi seseorang dapat dipengaruhi terhadap prestasi kerja dan produktivitas. Pengaruh gizi terhadap perkembangan mental anak. Hal ini sehubungan dengan terhambatnya pertumbuhan sel otak yang terjadi pada anak yang menderita gangguan gizi pada usia sangat muda bahkan dalam kandungan. Berbagai factor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada balita. Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan, prasangka buruk terhadap bahan makanan tertentu, adanya kebiasaan/pantangan yang merugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak kelahiran yang rapat
Kemiskinan masih merupakan bencana bagi jutaan manusia. Sekelompok kecil penduduk dunia berpikir “hendak makan dimana” sementara kelompok lain masih berkutat memeras keringat untuk memperoleh sesuap nasi. Dibandingkan orang dewasa, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak – anak boleh dibilang sangat kecil. Namun, jika diukur berdasarkan % berat badan, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak – anak ternyata melampaui orang dewasa nyaris dua kali lipat. Kebutuhan akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas permukaan tubuh/menghitung secara langsung konsumsi energi itu ( yang hilang atau terpakai ). Asupan energi dapat diperkirakan dengan jalan menghitung besaran energi yang dikeluarkan. Jumlah keluaran energi dapat ditentukan secara sederhana berdasarkan berat badan
Kekurangan berat badan yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh merupakan masalah serius. Keparahan KKP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, terlambat tumbuh sampai ke sindrom klinis yang nyata. Penilaian antropometris status gizi dan didasarkan pada berat, tinggi badan, dan usia. Ukuran antropometris bergantung pada kesederhanaa, ketepatan, kepekaan, serta ketersediaan alat ukur. Marasmus biasanya berkaitan dengan bahan pangan yang sangat parah, semikelaparan yang berkepanjangan, dan penyapihan terlalu dini, sedangkan kwashiorkor dengan keterlambatan menyapih dan kekurangan protein. Penanganan KKP berat dikelompokan menjadi dua yaitu pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa dan fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manuasia ( SDM ) yang di lakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif.
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan  di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.
Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index ( HDI )..
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan  asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % ( 1989 ) menjadi 24,6 % ( 2000 ). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.  Di Kabupaten Purworejo sendiri dari hasil Pemantauan Status  Gizi yang dilaksanakan  setiap tahun prevalensi gizi buruk  meningkat terus yaitu dari  1,10 % ( 2001 ), 1,56 % ( 2002 ), 1,51 % ( 2003 ), dan 2,18 % ( 2004 ). Sedangkan prevalensi gizi kurang 12,66 % ( 2001 ), 16,32 % ( 2002 ), 14,28 %     ( 2003 ) dan 14,33 % ( 2004 ).
Kurang gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan  dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreatifitas  dan produktifitas penduduk. Timbulnya krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menyebabkan  penurunan kegiatan produksi yang drastis akibatnya lapangan kerja berkurang dan pendapatan perkapita turun. Hal ini jelas berdampak terhadap status gizi dan kesehatan masyarakat karena tidak terpenuhinya kecukupan konsumsi makanan dan timbulnya berbagai penyakit menular akibat lingkungan hidup yang tidak sehat.
Mulai tahun 1998 upaya penanggulangan balita gizi buruk mulai ditingkatkan dengan penjaringan kasus, rujukan dan perawatan gratis di Puskesmas maupun Rumah Sakit, Pemberian Makanan Tambahan ( PMT ) serta upaya-upaya lain yang bersifat Rescue. Bantuan pangan ( beras Gakin dll ) juga diberikan kepada keluarga miskin oleh sektor lain untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua upaya tersebut nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah dan meningkatkan kembali status gizi masyarakat, khususnya pada balita. Balita gizi  buruk dan gizi kurang yang mendapat bantuan dapat disembuhkan, tetapi kasus-kasus baru muncul yang terkadang malah lebih banyak sehingga terkesan penanggulangan yang dilakukan tidak banyak artinya, sebab angka balita gizi buruk  belum dapat ditekan secara bermakna.
Masalah gizi buruk masih dialami oleh anak-anak di berbagai tempat di Indonesia dari tahun ke tahun. Ini menjadi potret buruk pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia. Gizi buruk menjadi perhatian masyarakat ketika media mengangkat kasus-kasus meninggalnya anak-anak di banyak daerah karena malnutrisi. Bagaimana pendekatan penanganannya oleh Pemerintah dan masyarakat?
Pengurangan jumlah penderita malnutrisi menjadi salah satu target Tujuan Perkembangan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Indonesia berkomitmen untuk mengurangi hingga setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami malnutrisi pada tahun 2015, di mana angka tahun ini masih 28%, sementara pelaksanaan MDGs tahun ini sudah memasuki periode sepertiga terakhir
Program perbaikan gizi masyarakat dalam beberapa tahun ini sudah masuk dalam program tugas wajib Pemerintah Daerah. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan?
Pada awal tahun 2008 ini, kasus gizi buruk kembali mengemuka. Dilaporkan antara lain di Trenggalek, Jawa Timur; Bekasi, Jawa Barat; Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur didapati adanya kasus malanutrisi hingga mencapai ratusan anak. Media massa merilis angka yang disebutkan sebagai jumlah temuan kasus gizi buruk pada anak dari tahun 2004 hingga 2007.
Pada tahun 2004 terdapat 5,1 juta anak mengalami gizi buruk, tahun 2005 terdapat 4,42 juta anak, tahun 2006 terdapat 4,2 juta anak, tahun 2007 sebanyak 4,1 juta anak.
Departemen Kesehatan (Depkes) kemudian meluruskan pemberitaan itu. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada keterangan pers 9 Maret 2008, mengatakan bahwa angka-angka yang disebutkan di atas keliru dalam identifikasi kasus gizi buruk. Katanya, tidak semua jumlah temuan itu adalah kategori gizi buruk.
Oleh Depkes, kasus-kasus malnutrisi dibedakan dalam beberapa golongan yaitu gizi buruk, gizi kurang, dan risiko gizi buruk. Pengertian gizi buruk sendiri adalah keadaan gizi kurang hingga tingkat yang berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
  1. Tujuan
  1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah presentasi ini adalah ingin memberitahukan kepada masyarakat hal – hal apa saja yang menjadi ruang lingkup dari masalah gizi buruk, menambah pengetahuan bagi masyarakat agar lebih luas wawasannya mengenai gizi buruk, memberitahukan jumlah penurunan penderita gizi buruk dari tahun 2004 – 2007, memberikan gambaran yang jelas mengenai penyakit gizi buruk, juga tidak lupa untuk menambah nilai mahasiswa, dan lain – lain yang bisa berdampak positif bagi penulis dan para pembaca
- Terlaksananya kegiatan penanggulangan balita gizi buruk tingkat Kabupaten,  Puskesmas dan Rumah Tangga
  1. Tujuan Khusus
- Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan balita di posyandu
- Meningkatkan cakupan dan kualitas tatalaksana kasus gizi buruk di puskesmas/RS dan rumah tangga
- Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) kepada balita kurang gizi dari keluarga miskin
- Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada anak (ASI/MP-ASI)
- Memberikan suplementasi gizi (kapsul Vit.A) kepada semua balita
  1. Strategi
- Revitalisasi posyandu untuk mendukung pemantauan pertumbuhan
- Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan kelompok potensial lainnya.
- Meningkatkan cakupan dan kualitas melalui peningkatan keterampilan tatalaksana gizi buruk
- Menyediakan sarana pendukung (sarana dan prasarana)
- Menyediakan dan melakukan KIE
- Meningkatkan kewaspadaan dini KLB gizi buruk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  1.  
    1. Pengertian Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ – organ serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang bisa dikatakan malnutrisi. KEP seseorang yang gizi buruk disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari – hari. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah, tanda – tanda klinis gizi buruk dapat menjadi indicator yang sangat penting untuk mengetahui seseorang menderita gizi buruk.
Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak factor. Data komposisi zat gizi bahan makanan yang berhubungan dengan berbagai proses pengolahan belum cukup tersedia, pemeriksaan zat gizi spesifik bertujuan untuk menilai status gizi. Zat gizi yang terdapat pada Angka Kecukupan Gizi ( AKG ) hanyalah gizi yang penting yaitu energi, protein, vit A, C, B 12, Tiamin, Riboflavin, Niasin, Asam Folat, Kalsium, Fosfor, Zat Besi, Zink, dan Yodium
Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan gizi yaitu penyakit gizi lebih ( obesitas ), gizi buruk ( malnutrisi ), metabolic bawaan, keracunan makanan, dan lain – lain. Gangguan gizi buruk menggambarkan suatu keadaan pathologis yang terjadi akibat ketidaksesuaian/tidak terpenuhinya antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi dalam jangka waktu yang relatif lama. Ilmu gizi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari hubungan antara makanan yang kita makan dan kesehatan tubuh. Hubungan antara makanan dan kesehatan tubuh sudah diketahui sejak berabad – abad yang lampau.. Penyakit – penyakit yang timbul akibat makanan kurang baik seperti makanan yang tidak cukup gizinya atau kadar zat gizinya tak seimbang disebut penyakit gangguan gizi yang pertama kali dikenal adalah penyakit skorbut/sariawan
Kesehatan yang baik tidak terjadi karena ada perubahan yang berupa kekurangan zat makanan tertentu ( defisiensi ) atau berlebih. Kekurangan umumnya mencakup protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Sedangkan kelebihan umumnya mencakup konsumsi lemak, protein, dan gula. Untuk mencapai kondisi anak perlu/cukup gizi harus memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan serta melakukan kegiatan yang baik seperti olah raga, dan lain – lain. Konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang/defisiensi. Keadaan kesehatan gizi masyarakat tergantung pada tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Penyakit gizi di Indonesia terutama tergolong ke dalam kelompok penyakit defisiensi yang sering dihubungkan dengan infeksi yang bisa berhubungan dengan gangguan gizi. Defisiensi gizi merupakan awal dari gangguan system imun yang menghambat reaksi imunologis. Gangguan gizi dan infeksi sering saling bekerja sama akan memberikan prognosis yang lebih buruk. Ada berbagai zat gizi yang sangat mempengaruhi kondisi kesehatan manusia. Masalah kesehatan gizi dapa timbul dalam bentuk penyakit dengan tingkat yang tinggi
B. Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor.

Marasmus à Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Pada stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
Ø Tanda – tanda
§ Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
§ Wajah seperti orangtua
§ Cengeng, rewel
§ Perut cekung
§ Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.
§ Sering disertai diare kronik atau konstipasi / susah buang air, serta penyakit kronik.
§ Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang.
Kwasiokor à Kwashiorkor adalah gangguan gizi karena kekurangan protein biasa (KEP) sering disebut busung lapar. Gejala yang timbul diantaranya adalah tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Terdapat juga gangguan perubahan mental yang sangat mencolok. Pada umumnya penderita sering rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
Ø Tanda – tanda Kwasiokor
§ Edema umumnya di seluruh tubuh terutama pada kaki ( dorsum pedis )
§ Wajah membulat dan sembab
§ Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak berbaring terus menerus.
§ Perubahan status mental : cengeng, rewel kadang apatis.’
§ Anak sering menolak segala jenis makanan ( anoreksia ).
§ Pembesaran hati
§ Sering disertai infeksi, anemia dan diare / mencret.
§ Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut.
§ Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas ( crazy pavement dermatosis )
§ Pandangan mata anak nampak sayu.
Marasmus & Kwasiokor
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor dengan gabungan gejala yang menyertai.
Ø Tanda – tanda
§ Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal. Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan sebagainya
§ Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan otot.
§ Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan metabolic seperti gangguan pada ginjal dan pankreas
§ Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya kadar natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.
§ Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-gejala masing-masing penyakit tersebut.
C. Penyebab Gizi Buruk
  1.  
    1. Penyebab utama gizi kurang dan gizi buruk tidak satu. Ada banyak!. Penyebab pertama adalah faktor alam. Secara umum tanah terkenal sebagai daerah tropis yang minim curah hujan. Kadang curah hujannya banyak tetapi dalam kurun waktu yang sangat singkat. Akibatnya, hujan itu bukan menjadi berkat tetapi mendatangkan bencana banjir. Tetapi, beberapa tahun belakangan ini tidak ada hujan menjadi kering kerontang! Tanaman jagung yang merupakan penunjang ekonomi keluarga sekaligus sebagai makanan sehari-hari rakyat gagal dipanen. Akibatnya, banyak petani termasuk anak-anak, terutama yang tinggal di daerah pelosok, memakan apa saja demi mempertahankan hidup. Dikhawatirkan gizi yang kurang dan bahkan buruk akan memperburuk pertumbuhan fisik dan fungsi-fungsi otak. Kalau ini terjadi, masa depan anak-anak ini dipastikan akan sangat kelam dan buram.
    2. Penyebab kedua adalah faktor manusiawi yaitu berasal dari kultur sosial masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat petani bersifat ‘one dimensional,’ yakni masyarakat yang memang sangat tergantung pada satu mata pencaharian saja. Banyak orang menanam makanan ‘secukup’nya saja, artinya hasil panen itu cukup untuk menghidupi satu keluarga sampai masa panen berikutnya. Belum ada pemikiran untuk membudidayakan hasil pertanian mereka demi meraup keuntungan atau demi meningkatkan pendapatan keluarga. Adanya budaya ‘alternatif’ yaitu memanfaatkan halaman rumah untuk menanam sayur-mayur demi menunjang kebutuhan sehari-hari. Penyebab ketiga masih berkisar soal manusiawi tetapi kali ini lebih berhubungan dengan persoalan struktural, yaitu kurangnya perhatian pemerintah. Pola relasi rakyat dan pemerintah masih vertikal bukan saja menghilangkan kontrol sosial rakyat terhadap para pejabat, tetapi juga membuka akses terhadap penindasan dan ketidakadilan dan, yang paling berbahaya, menciptakan godaan untuk menyuburkan budaya korupsi. Tentu saja tidak semua aparat dan pejabat seperti itu!. Terlepas dari itu semua nampaknya masyarakat membutuhkan pendampingan agar mereka memahami hak-hak individu dan hak-hak sosial mereka sebagai warganegara.
  1.  
    1. Malnutrisi primer
Penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan. Gejala klinis malnutrisi primer sangat bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun. Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas menurun, pertumbuhan tulang ( maturasi ) terlambat, perbandingan berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut. Pada penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat.
  1.  
    1. Malnutrisi sekunder
Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikkan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, metabolisme, kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain. Kasus gizi buruk di kota besar biasanya didominasi oleh malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder ini gangguan peningkatan berat badan yang disebabkan karena karena adanya gangguan di sistem tubuh anak. pada malnutrisi sekunder tampak anak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Tampilan berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar.
Kasus malnutrisi sekunder sering terjadi overdiagnosis (diagnosis yang diberikan terlalu berlebihan padahal belum tentu mengalami infeksi ) tuberkulosis (TB). Overdiagnosis tersebut terjadi karena tidak sesuai dengan panduan diagnosis yang ada.
Secara medis penanganan kasus malnutrisi sekunder lebih kompleks dan rumit. Penanganannya harus melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran anak seperti bidang gastroenterologi, endokrin, metabolik, alergi-imunologi, tumbuh kembang dan lainnya. Gizi buruk memang merupakan masalah klasik bangsa ini sejak dulu. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Karena, gizi buruk bukan saja disebabkan karena masalah ekonomi atau kurangnya pengetahuan dan pendidikan,
Statistik Indonesia
- Berdasarkan data Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%).
- Data penderita gizi kurang dan buruk di Indonesia dari tahun 1989-2004 (Susenas): Tabel 1
Tahun
Jumlah Penduduk
Jumlah balita
gizi kurang dan buruk
Jumlah balita
gizi buruk
1989
177.614.965
7.986.279
1.324.769
1992
185.323.456
7.910.346
1.607.866
1995
95.860.899
6.803.816
2.490.567
1998
206.398.340
6.090.815
2.169.247
1999
209.910.821
5.256.587
1.617.258
2000
203.456.005
4.415.158
1.348.181
2001
206.070.000
4.733.028
1.142.455
2002
211.567.577
5.014.028
1.469.596
2004
211.567.577
5.119.935
1.528.676
Catatan: Jumlah balita tahun 2003 diperkirakan 8,5% dari jumlah penduduk
- WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (30%)
- Dengan menggunakan pengelompokan prevalensi gizi kurang berdasarkan WHO, Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (atau 28.47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung meningkat pada tahun 2005-2006
- Gizi masih merupakan masalah serius pada sebagian besar Kabupaten/Kota, Data 2004 menunjukkan masalah gizi terjadi di 77,3% Kabupaten dan 56% Kota, dan besarnya angka ini hampir sama jika dilihat menurut persentase keluarga miskin
§ 109 dari 347(31.4%) kabupaten/kota yang diklasifikasikan berisiko tinggi
§ 67(19.3%) kabupaten/kota resiko sedang, dan
§ 171 (49.2%) kabupaten/kota resiko rendah
- Jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan Dinas Kesehatan Propinsi selama Januari-Desember 2005 adalah 75.671 balita
  1.  
    1. Fakta Tentang Gizi Buruk
  1. Kondisi gizi buruk termasuk busung lapar dapat dicegah.
  2. Gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan, (masalah struktural) tapi juga karena aspek sosial dan budaya hingga menyebabkan tindakan yang tidak menunjang tercapainya gizi yang memadai untuk balita (masalah individual dan keluarga).
§ Di Pidie Aceh, Dinas Kesehatan dan UNICEF menemukan 454 balita dari 45.000 balita mengalami gizi buruk akibat konflik dan tsunami. Di Gianyar, 80% balita yang mengalami gizi buruk bukan berasal dari kelurga miskin (gakin).
- Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30%.
- Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80 % terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun
- Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek.
- 6.7 juta balita atau 27.3% dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang gizi akibat pemberian ASI dan makanan pendamping ASI yang salah. 1.5 juta diantaranya menderita gizi buruk.
- Kurang Energi Protein (KEP) ringan sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 2 tahun, meskipun dapat juga dijumpai pada anak lebih besar
- Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar, yaitu sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti Tuberculosis, Madang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak.
Tabel 2
Kekurangan vitamin, mineral dan elektrolit pada penderita KEP
No
NAMA PENYAKIT
KEKURANGAN/
DEFISIENSI
GEJALA DAN TANDA KLINIS

Buta senja (xeroftalmia)
Vitamin A
Mata kabur atau buta

Beri-beri
Vitamin B1
Badan bengkak, tampak rewel, gelisah, pembesaran jantung
kanan

Ariboflavinosis
Vitamin B2
Retak pada sudut mulut, lidah merah jambu dan licin

Defisiensi B6
Vitamin B6
Cengeng, mudah kaget, kejang, anemia (kurang darah), luka di
mulut

Defisiensi Niasin
Niasin
Gejala 3 D (dermatitis /gangguan kulit, diare, deementia), Nafsu
makan menurun, sakit di ldah dan mulut, insominia, diare, rasa
bingung.

Defisiensi Asam folat
Asam folat
Anemia, diare

Defisiensi B12
Vitamin B12
Anemia, sel darah membesar, lidah halus dan mengkilap, rasa
mual, muntah, diare, konstipasi

Defisiensi C
Vitamin C
Cengeng, mudah marah, nyeri tungkai bawah, pseudoparalisis
(lemah) tungkai bawah, perdarahan kulit

Rakitis dan Osteomalasia
Vitamin D
Pembekakan persendian tulang, deformitas tulang, pertumbuhan
gigi melambat, hipotoni, anemia

Defisiensi K
Vitamin K
Perdarahan, berak darah, perdarahan hidung dsb

Anemia Defisiensi Besi
Zat besi
pucat, lemah, rewel

Defisiensi Seng
Seng
Mudah terserang penyakit, pertumbuhan lambat, nafsu makan
berkurang, dermatitis

Defisiensi tembaga
tembaga
Pertumbuhan otak terganggu, rambut jarana dan mudah patah,
kerusakan pembuluh darah nadi, kelainan tulang

Hipokalemi
kalium
Lemah otot, gangguan jantung

Defisiensi klor
klor
Rasa lemah, cengeng

Defisiensi Fluor
Fluor
Resiko karies dentis (kerusakan gigi)

Defisiensi krom
krom
Pertumbuhan kurang, sindroma like diabetes melitus

Hipomagnesemia
magnesium
Defisiensi hormon paratiroid

Defisiensi Fosfor
Fosfor
Nafsu makan menurun, lemas

Defisiensi Iodium
Iodium
Pembesaran kelenjar gondok, gangguan fungsI mental,
perkembangan fisik
BAB III
ANALISIS MASALAH
Kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini telah membangunkan pemegang kebijakan untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat besar. Berdasarkan angka human development index (HDI), Indonesia menduduki peringkat ke 112 di dunia. Tidak tertutup kemungkinan peringkat ini akan bergeser ke posisi lebih rendah (memburuk) apabila kondisi ini tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Kasus gizi buruk yang meningkat dan sangat ramai dibicarakan sejak ditemukan di NTB, telah membuka mata kita tentang masalah gizi anak balita. Kenyataan di lapangan, setelah NTB, hamper seluruh daerah di Indonesia segera melaporkan adanya kasus gizi buruk di wilayahnya. Fenomena ini kemungkinan berkaitan dengan pengalokasian dana yang digulirkan oleh pemerintah (Pusat) untuk penanggulangan kasus gizi buruk. Ironis memang.
Gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan kejadian yang tiba-tiba. Pertanyaan yang timbul adalah di mana laporan hasil pemantauan status gizi berada dan ke mana laporan tersebut dikirimkan selama ini? Secara teknis, mestinya laporan tersebut berada di Dinas Kesehatan (untuk Daerah) dan Departemen Kesehatan (untuk Pusat). Secara teknis pula, lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab atas kajian data hasil pemantauan yang dilakukan secara berkala mulai dari tingkat Puskesmas, dengan Posyandu sebagai ujung tombak sumber informasi. Demikian pula institusi rumah sakit, merupakan unit pelayanan yang juga turut berkontribusi atas tersedianya informasi kasus tersebut karena berkaitan dengan fungsinya sebagai pusat rujukan kasus
Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan suatu pertemuan sosialisasi pencegahan dan penanggulangan gizi buruk bagi pemegang kebijakan di Batam 6-8 Oktober 2005 (Regional I) dan di Yogyakarta 11-13 Oktober 2005 (RegionalII). Pada pertemuan yang dihadiri oleh para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Rumah Sakit Propinsi se-Indonesia tersebut telah dibahas Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009, yang menginformasikan 70% dari anggaran yang tersedia akan di fokuskan pada promosi kesehatan (dalam hal ini upaya promotif dan preventif),.
BABIV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada 4 faktor yang melatarbelakangi KKP yaitu : masalah social, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan salah satu determinan social – ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit dan kematian anak. Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerap siapa saja, terutama bayi dan anak yang tengah tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun, sementara kwashiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 bulan. Penilaian status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat mendapatkan makanan yang cukup jumlah dan mutunya. Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari. Kecukupan zat gizi berpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak.Kasus gizi buruk bukanlah jenis penyakit yang datang tiba-tiba begitu saja. Tetapi karena proses yang menahun terus bertumpuk dan menjadi kronik saat mencapai puncaknya. Masalah defisiensi gizi khususnya KKP menjadi perhatian karena berbagai penelitian menunjukan adanya efek jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak manusia
B. Saran – saran
Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi buruk merebak barulah pemerintah melakukan tindakan ( serius ). Keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Dan seharusnya para ibu mengupayakan sesuatu yang terbaik untuk anaknya yang nantinya anak tersebut dapat menolong sang ibu. Ibu jangan mudah menyerah hadapilah semuanya itu, saya yakin pasti akan ada jalan keluarnya
DAFTAR PUSTAKA
  1. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
  2. Fajar, Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
  3. Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta