ABSTRAK
Kasus gizi buruk umumnya menimpa
balita dengan latar belakang ekonomi lemah. Beragam masalah malnutrisi banyak
ditemukan pada anak-anak dari kurang gizi hingga busung lapar. Menurut UNICEF
saat ini ada sekitar 40 % anak Indonesia di bawah usia lima tahun menderita
gizi buruk. Betapa banyaknya bayi dan anak-anak yang sudah bergulat dengan
kelaparan dan penderitaan sejak mereka dilahirkan.
Penyebab utama gizi buruk tidak
satu. Ada banyak!. Penyebab utama kasus gizi buruk di Indonesia tampaknya
karena masalah ekonomi atau kurang pengetahuan. Kemiskinan memicu kasus gizi
buruk, kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyediakan makanan bergizi bagi
anaknya menjadi penyebab utama meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia. Dan
juga faktor alam, manusiawi ( kultur social masyarakat setempat ), pemerintah,
dan lain – lain.
Persoalan gizi buruk masih
menghantui sebagian warganya. Bagaimana bisa di era sekarang, masih dijumpai
ribuan, dan ratusan ribu anak balita, yang menjadi pemegang masa depan
Indonesia menderita gizi buruk. Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas
ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat seharusnya penanganan pelayanan
kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk belum mencapai tahap
membahayakan. Setelah kasus gizi buruk merebak barulah pemerintah melakukan
tindakan ( serius ). Keseriusan pemerintah mencanangkan Gerakan Penanganan
Diare dan Gizi Buruk sejak Juli 2007 lalu disusul dengan Gerakan Kedaulatan
Pangan yang akan dicanangkan April 2008, keseriusan pemerintah tidak ada
artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku
masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak yang menderita
penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi
makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan.
Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis.
Gizi buruk akut atau busung lapar
menurut Sensus WHO menunjukkan 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada
anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Kasus kekurangan gizi tercatat
sebanyak 50% anak-anak di Asia, 30% anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di
Amerika Latin. Dari kondisi tubuh balita yang menderita gizi buruk memiliki
berat badan di bawah rata-rata, berat badan/umur Balita < 60 persen berada
di bawah garis merah sehingga tergolong KEP berat. Ciri-ciri yang mudah
iiii
terdekteksi pada tanda marasmus.
Komponen biologi yang melatarbelakangi KKP antara lain malnutrisi ibu, penyakit
infeksi, dan diet rendah energi & protein.
Seorang ibu yang mengalami KKP
selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan
rendah. Kurang Kalori Protein (KKP) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan
kalori, protein, atau keduanya, tidak tercukupi oleh diet. Sindrom kwasiorkor terjelma manakala defisiensi menampakan dominasi
protein, dan maramus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah.
Kombinasi kedua bentuk ini marasmik kwasiorkor, juga tidak sedikit.
Malnutrisi Primer
Penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering
disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi, rendahnya
pengetahuan, dan kurangnya asupan gizi. Gejala kinis malnutrisi primer sangat
bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur
penderita dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus
tersebut sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun. Pertumbuhan
yang terganggu dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun,
ukuran lengan atas menurun, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat,
perbandingan berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak
adalah anemia ringan, aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit
dan rambut.
Malnutrisi Sekunder
Malnutrisi sekunder adalah gangguan
pencapaian kenaikkan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian
asupan gizi pada anak karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh.
Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, metabolisme,
kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal. Kasus gizi buruk di kota besar
biasanya didominasi oleh malnutrisi sekunder.
Asupan Gizi
Anak usia 0-2 tahun sebaiknya
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI). ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan dalam
perkembangan otak anak. Banyak produk susu kaleng atau susu formula mengandung
asam linoleat, DHA dan sebagainya. Untuk memulihkan kondisi Balita pada status
normal, dibutuhkan asupan susu yang mudah diserap tubuh yakni Entrasol. Tiap Balita diharuskan mengkonsumsi 60 kotak susu, dimana dalam hitungan 90
hari berat badan anak kembali normal. Kriteria yang dicantumkan antara lain:
biasa makan beraneka ragam makanan (makan 2-3 kali sehari dengan makanan pokok,
sayur, dan lauk pauk), selalu memantau kesehatan anggota keluarga, biasanya
menggunakan garam beryodium, dan khusus ibu hamil, didukung untuk memenuhi
kebutuhan ASI bayi minimal sampai 4 bulan setelah kelahiran. Yang nampak adalah
bayi-bayi dan anak-anak yang lemah, loyo dan tanpa tenaga. Yang terdengar
adalah tangisan dan jeritan putus asa bayi-bayi dan anak-anak kelaparan yang
sangat membutuhkan makanan. Mereka cuma bisa menangis tetapi tak mampu meronta.
Tenaga mereka lenyap karena mengidap marasmus bahkan busung lapar. Seorang
ibu yang anaknya menderita busung lapar mengakui bahwa sudah beberapa hari ini
anaknya hanya makan “air bubur.” memasak sedikit beras dengan air yang sangat
banyak. Akibatnya
makanan itu terlalu cair untuk disebut bubur. Lebih tepat disebut air bubur.
Memang, tubuh anak itu bagaikan tulang-belulang yang ditutupi kulit, perutnya
buncit, matanya sayu. Tak dapat dipungkiri memang ada
hubungan erat antara infeksi dengan malnutrisi. Infeksi sekecil apa pun
berpengaruh pada tubuh. Sedangkan kondisi malnutrisi akan semakin memperlemah
daya tahan tubuh yang pada giliran berikutnya akan mempermudah masuknya beragam
penyakit. Tindak pencegahan otomatis sudah dilakukan bila faktor-faktor
penyebabnya dapat dihindari. Pendidikan gizi diberikan kepada anak untuk
mengarahkan kepada pembiasan dan cara makan yang lebih baik yang dilakukan
dalam lingkup makro ( masyarkat luas ) dan mikro ( keluarga ).
Masalah status gizi masyarakat
Indonesia kini sedang diliputi suasana keprihatinan yang mendalam. Betapa
tidak; kelangkaan dan mahalnya sejumlah bahan kebutuhan konsumsi masyarakat,
seperti kedelai, jagung dan terigu berdampak besar terhadap asupan gizi warga
masyarakat. Ini tentu berakibat buruk bagi keluarga miskin di Indonesia yang
kini jumlahnya masih sangat tinggi.
Dampak paling buruk dari kekurangan,
kelangkaan dan mahalnya bahan kebutuhan pangan rakyat ini memperbesar masalah
gizi buruk, terutama anak balita di Indonesia. Harga kedelai yang mencapai Rp
8.000 per kg, justru jauh lebih mahal dibanding beras. Kedelai sebagai bahan
utama pembuat tahu, tempe dan susu kedelai kini memang berharga mahal. Ini akan
membuat setiap keluarga miskin semakin sulit membeli tahu-tempe yang dulu murah
tetapi bergizi tinggi. Sebagai gantinya, semakin banyak orangtua yang terpaksa
hanya memberi makan dengan lauk kerupuk kepada anaknya.
Sebelum harga kedelai meroket saja
kita masih sulit mengatasi kasus gizi buruk di Tanah Air. Misalnya di DKI
Jakarta, Bogor, NTB, NTT, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sejumlah
provinsi lainnya. Padahal waktu itu harga tahu-tempe masih murah. Jadi, kalau
pemerintah sampai gagal dalam mengembalikan harga kedelai ke posisi semula,
kasus gizi buruk bisa semakin parah. Ini harus cepat teratasi. Bila tidak,
dampaknya sangat buruk bagi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, sekaligus
merupakan ancaman lost generation. Lebih-lebih Indonesia masih menghadapi
tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.
Faktor kemiskinan sering menimbulkan
kasus gizi buruk, sebab tekanan ekonomi membuat kuantitas maupun kualitas
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi rendah. Faktor penyebab
yang lain adalah kurangnya pemahaman tentang masalah gizi, buruknya pelayanan
kesehatan, dan kondisi lingkungan
Data dari Depkes menunjukkan,
Indonesia sebenarnya pernah berhasil menekan angka kasus gizi kurang dan gizi
buruk pada anak balita. Yakni menjadi 37,5% (1989), 35,5% (1992), 31,6 %
(1995), 29,5% (1998), 26,4% (1999), dan 24,6% (2000). Namun, angka-angka
tersebut kembali meningkat. Yakni menjadi 26,1% (2001), 27,3% (2002), 27,5%
(2003), dan 29% (2005).
Antara 1989-2000 intervensi gizi
dari pemerintah memang lebih cepat dilakukan saat petugas menemukan kasus gizi
kurang atau gizi buruk pada anak balita. Hal itu, menurut hasil penelitian,
karena masih berfungsinya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan tenaga-tenaga
medis wajib praktik yang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah.
Namun, saat ini, dari 250.000-an posyandu di Indonesia tinggal 40% yang
masih aktif. Jadi, praktis tinggal sekitar 43% anak balita yang terpantau. Tantangan
penanggulangan masalah gizi bahkan terasa lebih besar sejak era otonomi daerah.
Walaupun kini pemerintah daerah (pemda) sebenarnya berperan lebih besar untuk
mengatasi tantangan tersebut, namun realitasnya tidak selalu demikian.
Bila kita mengacu pada garis
kemiskinan menurut standar organisasi pangan sedunia (FAO), yakni penghasilan 2
dolar AS per hari, maka kini lebih dari 110 juta jiwa Indonesia (53% dari total
penduduk) masih di bawah garis kemiskinan. Sebab itu, mustahil kita bisa
mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat tanpa adanya upaya
perbaikan ekonomi di dalam rumah tangga.
bagi pemerintah agar segera mengendalikan harga
sembako, memberdayakan ekonomi rakyat kecil, dan memacu aktivitas
posyanduKomitmen pemda terhadap pembangunan di bidang kesehatan masih minim.
Padahal, pada era otonomi daerah ini, perannya justru
sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan yang menuntut lebih banyak
perhatian sehubungan sewaktu-waktu bisa terjadi bencana banjir dan angka
kemiskinan masih tinggi. Alokasi anggaran untuk kesehatan yang hanya 3% dari
PDB menunjukkan lemahnya komitmen pemda untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan
masyarakat. Sedangkan di Malaysia, Thailand dan Filipina mengalokasikan 6-7
kali lipat anggaran lebih besar dibanding Indonesia untuk pendidikan dan
kesehatan..
Menurut pemerintah, angka kemiskinan
pada 2006 mengalami penurunan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Namun,
data dari Departemen Kesehatan (Depkes), menyatakan anak balita yang terkena
gizi buruk melonjak dari 1,8 juta (2005) menjadi 2,3 juta anak (2006). Selain itu lebih dari 5 juta balita terkena gizi kurang. Lebih tragis lagi,
dari seluruh korban gizi kurang dan gizi buruk tadi, sekitar 10% berakhir
dengan kematian.
Situasi-kondisi pangan nasional dewasa ini benar-benar memprihatinkan. Maka
pemerintah kita harapkan bisa segera menggalakkan sistem kewaspadaan pangan dan
gizi (SKPG) dengan dukungan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang mampu
mengaktifkan posyandu agar SKPG berfungsi lagi. Tugasnya memantau status gizi
masyarakat hingga ke pelosok desa terpencil. Jika ada warga yang kedapatan terkena gizi buruk, petugas puskesmas
terdekat harus langsung menangani. Posyandu harus diaktifkan kembali,
sebab pencatatan di posyandu akan memberikan gambaran riil ihwal laporan
perkembangan kasus gizi buruk hingga ke pelosok desa. Di posyandu, berat anak
ditimbang dan dicatat. Bila ada ibu tidak membawa anak balitanya ke posyandu,
petugas harus aktif mendatangi rumahnya. Namun, seiring perkembangan politik
nasional dan lokal terkait otonomi daerah, banyak pejabat yang tidak sensitif
terhadap meningkatnya jumlah penderita gizi buruk yang tengah melanda keluarga
miskin. Akibatnya, para petugas di bawahnya tidak bisa lagi melayani kesehatan
masyarakat secara optimal
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Masalah gizi muncul akibat masalah
ketahanan pangan ditingkat rumah tangga ( kemampuan memperoleh makanan untuk
semua anggotannya ), masalah kesehatan, kemiskinan, pemerataan, dan kesempatan
kerja. Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah
gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh sudah muncul masalah baru.
Masalah gizi di Indonesia terutama KEP masih lebih tinggi daripada Negara ASEAN
lainnya.Sekarang ini masalah gizi mengalami perkembangan yang sangat pesat,
Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit dan kematian anak, meskipun
sering luput dari perhatian. Sebagian besar anak di dunia 80% yang menderita
malnutrisi bermukim di wilayah yang juga miskin akan bahan pangan kaya zat
gizi, terlebih zat gizi mikro Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat
konsumsi yaitu kualitas hidangan yang mengandung semua kebutuhan tubuh. Akibat
dari kesehatan gizi yang tidak baik, maka timbul penyakit gizi, umumnya pada
anak balita diderita penyakit gizi buruk
Hubungan antara kecukupan gizi dan
penyakit infeksi yaitu sebab akibat yang timbal balik sangat erat. Berbagai
penyakit gangguan gizi dan gizi buruk akibatnya tidak baiknya mutu/jumlah
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh masing – masing orang. Jumlah
kasus gizi buruk pada balita yang ditemukan dan ditangani tenaga kesehatan
Masalah gizi semula dianggap sebagai
masalah kesehatan yang hanya dapat ditanggulangi dengan pengobatan
medis/kedokteran. Namun, kemudian disadari bahwa gejala klinis gizi kurang yang
banyak ditemukan dokter ternyata adalah tingkatan akhir yang sudah kritis dari
serangkaian proses lain yang mendahuluinya
Gizi seseorang dapat dipengaruhi terhadap prestasi kerja dan produktivitas.
Pengaruh gizi terhadap perkembangan mental anak. Hal ini sehubungan dengan
terhambatnya pertumbuhan sel otak yang terjadi pada anak yang menderita
gangguan gizi pada usia sangat muda bahkan dalam kandungan. Berbagai
factor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama
pada balita. Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan, prasangka buruk
terhadap bahan makanan tertentu, adanya kebiasaan/pantangan yang merugikan,
kesukaan berlebihan terhadap jenis makanan tertentu, keterbatasan penghasilan
keluarga, dan jarak kelahiran yang rapat
Kemiskinan masih merupakan bencana
bagi jutaan manusia. Sekelompok kecil penduduk dunia berpikir “hendak makan
dimana” sementara kelompok lain masih berkutat memeras keringat untuk
memperoleh sesuap nasi. Dibandingkan orang dewasa, kebutuhan akan zat gizi bagi
bayi, balita, dan anak – anak boleh dibilang sangat kecil. Namun, jika diukur
berdasarkan % berat badan, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak
– anak ternyata melampaui orang dewasa nyaris dua kali lipat. Kebutuhan akan
energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas permukaan tubuh/menghitung
secara langsung konsumsi energi itu ( yang hilang atau terpakai ). Asupan energi dapat diperkirakan dengan jalan menghitung besaran energi
yang dikeluarkan. Jumlah keluaran energi dapat ditentukan secara
sederhana berdasarkan berat badan
Kekurangan berat badan yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh
merupakan masalah serius. Keparahan KKP berkisar dari hanya penyusutan berat
badan, terlambat tumbuh sampai ke sindrom klinis yang nyata. Penilaian
antropometris status gizi dan didasarkan pada berat, tinggi badan, dan usia.
Ukuran antropometris bergantung pada kesederhanaa, ketepatan, kepekaan, serta
ketersediaan alat ukur. Marasmus biasanya berkaitan dengan bahan pangan yang
sangat parah, semikelaparan yang berkepanjangan, dan penyapihan terlalu dini,
sedangkan kwashiorkor dengan keterlambatan menyapih dan kekurangan protein.
Penanganan KKP berat dikelompokan menjadi dua yaitu pengobatan awal ditujukan
untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa dan fase rehabilitasi diarahkan
untuk memulihkan keadaan gizi
Tujuan utama pembangunan nasional
adalah peningkatan kualitas sumber daya manuasia ( SDM ) yang di lakukan secara
berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama
pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda.
Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan
dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk
SDM yang sehat, cerdas dan produktif.
Masalah gizi adalah masalah kesehatan
masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis
dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindroma
kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang
mendukung pola hidup sehat.
Keadaan gizi masyarakat akan
mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu
unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan
istilah Human Development Index ( HDI )..
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi
gizi kurang menurun dari 37,5 % ( 1989 ) menjadi 24,6 % ( 2000 ). Namun kondisi
tersebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi
gizi buruk cenderung meningkat. Di Kabupaten Purworejo sendiri dari hasil
Pemantauan Status Gizi yang dilaksanakan setiap tahun prevalensi
gizi buruk meningkat terus yaitu dari 1,10 % ( 2001 ), 1,56 % (
2002 ), 1,51 % ( 2003 ), dan 2,18 % ( 2004 ). Sedangkan prevalensi gizi kurang
12,66 % ( 2001 ), 16,32 % ( 2002 ), 14,28 % ( 2003 )
dan 14,33 % ( 2004 ).
Kurang gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan,
kreatifitas dan produktifitas penduduk. Timbulnya krisis ekonomi yang
berkepanjangan telah menyebabkan penurunan kegiatan produksi yang drastis
akibatnya lapangan kerja berkurang dan pendapatan perkapita turun. Hal ini
jelas berdampak terhadap status gizi dan kesehatan masyarakat karena tidak
terpenuhinya kecukupan konsumsi makanan dan timbulnya berbagai penyakit menular
akibat lingkungan hidup yang tidak sehat.
Mulai tahun 1998 upaya
penanggulangan balita gizi buruk mulai ditingkatkan dengan penjaringan kasus,
rujukan dan perawatan gratis di Puskesmas maupun Rumah Sakit, Pemberian Makanan
Tambahan ( PMT ) serta upaya-upaya lain yang bersifat Rescue. Bantuan pangan (
beras Gakin dll ) juga diberikan kepada keluarga miskin oleh sektor lain untuk
menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua upaya tersebut
nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah dan meningkatkan kembali status
gizi masyarakat, khususnya pada balita. Balita gizi buruk dan gizi kurang
yang mendapat bantuan dapat disembuhkan, tetapi kasus-kasus baru muncul yang
terkadang malah lebih banyak sehingga terkesan penanggulangan yang dilakukan
tidak banyak artinya, sebab angka balita gizi buruk belum dapat ditekan
secara bermakna.
Masalah gizi buruk masih dialami
oleh anak-anak di berbagai tempat di Indonesia dari tahun ke tahun. Ini menjadi
potret buruk pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia. Gizi buruk
menjadi perhatian masyarakat ketika media mengangkat kasus-kasus meninggalnya
anak-anak di banyak daerah karena malnutrisi. Bagaimana pendekatan
penanganannya oleh Pemerintah dan masyarakat?
Pengurangan jumlah penderita
malnutrisi menjadi salah satu target Tujuan Perkembangan Milenium (Millenium
Development Goals atau MDGs). Indonesia berkomitmen untuk mengurangi hingga
setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami malnutrisi pada tahun 2015, di
mana angka tahun ini masih 28%, sementara pelaksanaan MDGs tahun ini sudah
memasuki periode sepertiga terakhir
Program perbaikan gizi masyarakat
dalam beberapa tahun ini sudah masuk dalam program tugas wajib Pemerintah
Daerah. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan?
Pada awal tahun 2008 ini, kasus gizi
buruk kembali mengemuka. Dilaporkan antara lain di Trenggalek, Jawa Timur;
Bekasi, Jawa Barat; Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur didapati adanya kasus
malanutrisi hingga mencapai ratusan anak. Media massa merilis angka yang
disebutkan sebagai jumlah temuan kasus gizi buruk pada anak dari tahun 2004
hingga 2007.
Pada tahun 2004 terdapat 5,1 juta
anak mengalami gizi buruk, tahun 2005 terdapat 4,42 juta anak, tahun 2006
terdapat 4,2 juta anak, tahun 2007 sebanyak 4,1 juta anak.
Departemen Kesehatan (Depkes) kemudian meluruskan
pemberitaan itu. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada keterangan pers 9
Maret 2008, mengatakan bahwa angka-angka yang disebutkan di atas keliru dalam
identifikasi kasus gizi buruk. Katanya, tidak semua jumlah temuan itu adalah
kategori gizi buruk.
Oleh Depkes, kasus-kasus malnutrisi
dibedakan dalam beberapa golongan yaitu gizi buruk, gizi kurang, dan risiko
gizi buruk. Pengertian gizi buruk sendiri adalah keadaan gizi kurang hingga
tingkat yang berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
- Tujuan
- Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah
presentasi ini adalah ingin memberitahukan kepada masyarakat hal – hal apa saja
yang menjadi ruang lingkup dari masalah gizi buruk, menambah pengetahuan bagi
masyarakat agar lebih luas wawasannya mengenai gizi buruk, memberitahukan
jumlah penurunan penderita gizi buruk dari tahun 2004 – 2007, memberikan
gambaran yang jelas mengenai penyakit gizi buruk, juga tidak lupa untuk
menambah nilai mahasiswa, dan lain – lain yang bisa berdampak positif bagi
penulis dan para pembaca
-
Terlaksananya kegiatan penanggulangan balita gizi buruk tingkat
Kabupaten, Puskesmas dan Rumah Tangga
- Tujuan Khusus
- Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui
penimbangan bulanan balita di posyandu
- Meningkatkan cakupan dan kualitas tatalaksana kasus gizi
buruk di puskesmas/RS dan rumah tangga
- Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)
kepada balita kurang gizi dari keluarga miskin
- Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam
memberikan asuhan gizi kepada anak (ASI/MP-ASI)
- Memberikan suplementasi gizi (kapsul Vit.A) kepada semua
balita
- Strategi
- Revitalisasi posyandu untuk mendukung pemantauan
pertumbuhan
- Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama,
pemuka adat dan kelompok potensial lainnya.
- Meningkatkan cakupan dan kualitas melalui peningkatan
keterampilan tatalaksana gizi buruk
- Menyediakan sarana pendukung (sarana dan prasarana)
- Menyediakan dan melakukan KIE
- Meningkatkan kewaspadaan dini KLB gizi buruk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Pengertian Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme
menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti,
absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat
yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi
normal dari organ – organ serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi,
maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila
keadaan ini berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya
terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang bisa dikatakan malnutrisi.
KEP seseorang yang gizi buruk disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari – hari. Pada umumnya penderita KEP berasal dari
keluarga yang berpenghasilan rendah, tanda – tanda klinis gizi buruk dapat
menjadi indicator yang sangat penting untuk mengetahui seseorang menderita gizi
buruk.
Kebutuhan tubuh akan zat gizi
ditentukan oleh banyak factor. Data komposisi zat gizi bahan makanan yang
berhubungan dengan berbagai proses pengolahan belum cukup tersedia, pemeriksaan
zat gizi spesifik bertujuan untuk menilai status gizi. Zat gizi yang terdapat
pada Angka Kecukupan Gizi ( AKG ) hanyalah gizi yang penting yaitu energi,
protein, vit A, C, B 12, Tiamin, Riboflavin, Niasin, Asam Folat, Kalsium,
Fosfor, Zat Besi, Zink, dan Yodium
Ada beberapa penyakit yang
berhubungan dengan gizi yaitu penyakit gizi lebih ( obesitas ), gizi buruk (
malnutrisi ), metabolic bawaan, keracunan makanan, dan lain – lain. Gangguan
gizi buruk menggambarkan suatu keadaan pathologis yang terjadi akibat
ketidaksesuaian/tidak terpenuhinya antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh
dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi dalam jangka waktu yang relatif lama. Ilmu
gizi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari hubungan
antara makanan yang kita makan dan kesehatan tubuh. Hubungan antara makanan dan
kesehatan tubuh sudah diketahui sejak berabad – abad yang lampau.. Penyakit –
penyakit yang timbul akibat makanan kurang baik seperti makanan yang tidak
cukup gizinya atau kadar zat gizinya tak seimbang disebut penyakit gangguan gizi
yang pertama kali dikenal adalah penyakit skorbut/sariawan
Kesehatan yang baik tidak terjadi
karena ada perubahan yang berupa kekurangan zat makanan tertentu ( defisiensi )
atau berlebih. Kekurangan umumnya mencakup protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.
Sedangkan kelebihan umumnya mencakup konsumsi lemak, protein, dan gula. Untuk
mencapai kondisi anak perlu/cukup gizi harus memperhatikan kebersihan diri dan
lingkungan serta melakukan kegiatan yang baik seperti olah raga, dan lain –
lain. Konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya
akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang/defisiensi. Keadaan kesehatan
gizi masyarakat tergantung pada tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas hidangan. Penyakit gizi di Indonesia terutama tergolong ke dalam
kelompok penyakit defisiensi yang sering dihubungkan dengan infeksi yang bisa
berhubungan dengan gangguan gizi. Defisiensi gizi merupakan awal dari gangguan
system imun yang menghambat reaksi imunologis. Gangguan gizi dan infeksi sering
saling bekerja sama akan memberikan prognosis yang lebih buruk. Ada berbagai
zat gizi yang sangat mempengaruhi kondisi kesehatan manusia. Masalah kesehatan
gizi dapa timbul dalam bentuk penyakit dengan tingkat yang tinggi
B. Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk adalah bentuk terparah
dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Status gizi balita secara
sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur
maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan.
Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik.
Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah
standar dikatakan gizi buruk Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis
disebut marasmus atau kwashiorkor.
Marasmus à Marasmus
adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan
otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan
kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati
dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan
banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Pada stadium
lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
Ø Tanda – tanda
§ Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
§ Wajah seperti orangtua
§ Cengeng, rewel
§ Perut cekung
§ Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.
§ Sering disertai diare kronik atau konstipasi / susah buang air, serta
penyakit kronik.
§ Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang.
Kwasiokor à Kwashiorkor adalah gangguan gizi karena kekurangan protein biasa (KEP)
sering disebut busung lapar. Gejala yang timbul diantaranya adalah tangan dan
kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Terdapat
juga gangguan perubahan mental yang sangat mencolok. Pada umumnya penderita
sering rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau
kesadaran yang menurun.
Ø Tanda –
tanda Kwasiokor
§ Edema
umumnya di seluruh tubuh terutama pada kaki ( dorsum pedis )
§ Wajah
membulat dan sembab
§ Otot-otot
mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak
berbaring terus menerus.
§ Perubahan
status mental : cengeng, rewel kadang apatis.’
§ Anak sering
menolak segala jenis makanan ( anoreksia ).
§ Pembesaran
hati
§ Sering
disertai infeksi, anemia dan diare / mencret.
§ Rambut
berwarna kusam dan mudah dicabut.
§ Gangguan
kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas (
crazy pavement dermatosis )
§ Pandangan
mata anak nampak sayu.
Marasmus
& Kwasiokor
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor dengan
gabungan gejala yang menyertai.
Ø Tanda –
tanda
§ Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60%
dari berat normal. Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas,
seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan sebagainya
§ Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan otot.
§ Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan metabolic
seperti gangguan pada ginjal dan pankreas
§ Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya kadar
natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.
§ Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari
gejala-gejala masing-masing penyakit tersebut.
C. Penyebab Gizi Buruk
- Penyebab utama gizi kurang dan gizi buruk tidak satu. Ada banyak!. Penyebab pertama adalah faktor alam. Secara umum tanah terkenal sebagai daerah tropis yang minim curah hujan. Kadang curah hujannya banyak tetapi dalam kurun waktu yang sangat singkat. Akibatnya, hujan itu bukan menjadi berkat tetapi mendatangkan bencana banjir. Tetapi, beberapa tahun belakangan ini tidak ada hujan menjadi kering kerontang! Tanaman jagung yang merupakan penunjang ekonomi keluarga sekaligus sebagai makanan sehari-hari rakyat gagal dipanen. Akibatnya, banyak petani termasuk anak-anak, terutama yang tinggal di daerah pelosok, memakan apa saja demi mempertahankan hidup. Dikhawatirkan gizi yang kurang dan bahkan buruk akan memperburuk pertumbuhan fisik dan fungsi-fungsi otak. Kalau ini terjadi, masa depan anak-anak ini dipastikan akan sangat kelam dan buram.
- Penyebab kedua adalah faktor manusiawi yaitu berasal dari kultur sosial masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat petani bersifat ‘one dimensional,’ yakni masyarakat yang memang sangat tergantung pada satu mata pencaharian saja. Banyak orang menanam makanan ‘secukup’nya saja, artinya hasil panen itu cukup untuk menghidupi satu keluarga sampai masa panen berikutnya. Belum ada pemikiran untuk membudidayakan hasil pertanian mereka demi meraup keuntungan atau demi meningkatkan pendapatan keluarga. Adanya budaya ‘alternatif’ yaitu memanfaatkan halaman rumah untuk menanam sayur-mayur demi menunjang kebutuhan sehari-hari. Penyebab ketiga masih berkisar soal manusiawi tetapi kali ini lebih berhubungan dengan persoalan struktural, yaitu kurangnya perhatian pemerintah. Pola relasi rakyat dan pemerintah masih vertikal bukan saja menghilangkan kontrol sosial rakyat terhadap para pejabat, tetapi juga membuka akses terhadap penindasan dan ketidakadilan dan, yang paling berbahaya, menciptakan godaan untuk menyuburkan budaya korupsi. Tentu saja tidak semua aparat dan pejabat seperti itu!. Terlepas dari itu semua nampaknya masyarakat membutuhkan pendampingan agar mereka memahami hak-hak individu dan hak-hak sosial mereka sebagai warganegara.
- Malnutrisi primer
Penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering
disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi dan rendahnya
pengetahuan. Gejala klinis malnutrisi primer sangat bervariasi tergantung
derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan adanya
gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada
anak usia 9 bulan hingga 5 tahun. Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari
kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas menurun,
pertumbuhan tulang ( maturasi ) terlambat, perbandingan berat terhadap tinggi
menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktifitas
berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut. Pada penderita
malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu
pembentukan DNA di susunan saraf. berpengaruh terhadap perkembangan mental dan
kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita
malnutri primer yang berat.
- Malnutrisi sekunder
Malnutrisi sekunder adalah gangguan
pencapaian kenaikkan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian
asupan gizi pada anak karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh yang
mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem
saluran cerna, metabolisme, kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan
lain-lain. Kasus gizi buruk di kota besar biasanya didominasi oleh malnutrisi
sekunder. Malnutrisi sekunder ini gangguan peningkatan berat badan yang
disebabkan karena karena adanya gangguan di sistem tubuh anak. pada malnutrisi
sekunder tampak anak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak.
Tampilan berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih
cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak
segar.
Kasus malnutrisi sekunder sering
terjadi overdiagnosis (diagnosis yang diberikan terlalu berlebihan padahal
belum tentu mengalami infeksi ) tuberkulosis (TB). Overdiagnosis tersebut
terjadi karena tidak sesuai dengan panduan diagnosis yang ada.
Secara medis penanganan kasus malnutrisi sekunder lebih kompleks dan rumit.
Penanganannya harus melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran anak seperti
bidang gastroenterologi, endokrin, metabolik, alergi-imunologi, tumbuh kembang
dan lainnya. Gizi buruk memang merupakan masalah klasik bangsa ini sejak dulu.
Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat
menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Karena, gizi
buruk bukan saja disebabkan karena masalah ekonomi atau kurangnya pengetahuan
dan pendidikan,
Statistik
Indonesia
-
Berdasarkan data Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar
27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi
kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%).
- Data
penderita gizi kurang dan buruk di Indonesia dari tahun 1989-2004 (Susenas):
Tabel 1
Tahun
|
Jumlah Penduduk
|
Jumlah balita
gizi kurang dan buruk
|
Jumlah balita
gizi buruk
|
1989
|
177.614.965
|
7.986.279
|
1.324.769
|
1992
|
185.323.456
|
7.910.346
|
1.607.866
|
1995
|
95.860.899
|
6.803.816
|
2.490.567
|
1998
|
206.398.340
|
6.090.815
|
2.169.247
|
1999
|
209.910.821
|
5.256.587
|
1.617.258
|
2000
|
203.456.005
|
4.415.158
|
1.348.181
|
2001
|
206.070.000
|
4.733.028
|
1.142.455
|
2002
|
211.567.577
|
5.014.028
|
1.469.596
|
2004
|
211.567.577
|
5.119.935
|
1.528.676
|
Catatan: Jumlah
balita tahun 2003 diperkirakan 8,5% dari jumlah penduduk
- WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke
dalam 4 kelompok yaitu rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%)
dan sangat tinggi (30%)
- Dengan menggunakan pengelompokan prevalensi gizi kurang berdasarkan WHO,
Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi
karena 5.119.935 (atau 28.47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk
kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung meningkat pada
tahun 2005-2006
- Gizi masih
merupakan masalah serius pada sebagian besar Kabupaten/Kota, Data 2004
menunjukkan masalah gizi terjadi di 77,3% Kabupaten dan 56% Kota, dan besarnya
angka ini hampir sama jika dilihat menurut persentase keluarga miskin
§ 109 dari 347(31.4%) kabupaten/kota yang diklasifikasikan berisiko tinggi
§ 67(19.3%) kabupaten/kota resiko
sedang, dan
§ 171 (49.2%) kabupaten/kota resiko
rendah
- Jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan Dinas Kesehatan Propinsi selama
Januari-Desember 2005 adalah 75.671 balita
- Fakta Tentang Gizi Buruk
- Kondisi gizi buruk termasuk busung lapar dapat dicegah.
- Gizi buruk adalah masalah yang bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan, (masalah struktural) tapi juga karena aspek sosial dan budaya hingga menyebabkan tindakan yang tidak menunjang tercapainya gizi yang memadai untuk balita (masalah individual dan keluarga).
§ Di Pidie Aceh, Dinas Kesehatan dan UNICEF menemukan
454 balita dari 45.000 balita mengalami gizi buruk akibat konflik dan tsunami. Di Gianyar,
80% balita yang mengalami gizi buruk bukan berasal dari kelurga miskin (gakin).
- Diperkirakan
bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang
diperkirakan antara 20-30%.
- Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada
rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80 % terjadi pada masa
dalam kandungan sampai usia 2 tahun
- Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar
dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian
bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek.
- 6.7 juta balita atau 27.3% dari seluruh balita di Indonesia menderita
kurang gizi akibat pemberian ASI dan makanan pendamping ASI yang salah. 1.5 juta
diantaranya menderita gizi buruk.
- Kurang
Energi Protein (KEP) ringan sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 2
tahun, meskipun dapat juga dijumpai pada anak lebih besar
- Beberapa
penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar, yaitu
sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti
Tuberculosis, Madang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung
mendadak.
Tabel 2
Kekurangan
vitamin, mineral dan elektrolit pada penderita KEP
No
|
NAMA PENYAKIT
|
KEKURANGAN/
DEFISIENSI
|
GEJALA DAN TANDA KLINIS
|
Buta senja (xeroftalmia)
|
Vitamin A
|
Mata kabur atau buta
|
|
Beri-beri
|
Vitamin B1
|
Badan bengkak, tampak rewel,
gelisah, pembesaran jantung
kanan
|
|
Ariboflavinosis
|
Vitamin B2
|
Retak pada sudut mulut, lidah merah jambu dan licin
|
|
Defisiensi B6
|
Vitamin B6
|
Cengeng, mudah kaget, kejang,
anemia (kurang darah), luka di
mulut
|
|
Defisiensi Niasin
|
Niasin
|
Gejala 3 D (dermatitis
/gangguan kulit, diare, deementia), Nafsu
makan menurun, sakit di ldah dan mulut, insominia,
diare, rasa
bingung.
|
|
Defisiensi Asam folat
|
Asam folat
|
Anemia, diare
|
|
Defisiensi B12
|
Vitamin B12
|
Anemia, sel darah membesar,
lidah halus dan mengkilap, rasa
mual, muntah, diare, konstipasi
|
|
Defisiensi C
|
Vitamin C
|
Cengeng, mudah marah, nyeri tungkai bawah,
pseudoparalisis
(lemah) tungkai bawah,
perdarahan kulit
|
|
Rakitis dan Osteomalasia
|
Vitamin D
|
Pembekakan persendian tulang,
deformitas tulang, pertumbuhan
gigi melambat, hipotoni, anemia
|
|
Defisiensi K
|
Vitamin K
|
Perdarahan, berak darah,
perdarahan hidung dsb
|
|
Anemia Defisiensi Besi
|
Zat besi
|
pucat, lemah, rewel
|
|
Defisiensi Seng
|
Seng
|
Mudah terserang penyakit, pertumbuhan lambat, nafsu
makan
berkurang, dermatitis
|
|
Defisiensi tembaga
|
tembaga
|
Pertumbuhan otak terganggu, rambut jarana dan mudah
patah,
kerusakan pembuluh darah nadi,
kelainan tulang
|
|
Hipokalemi
|
kalium
|
Lemah otot, gangguan jantung
|
|
Defisiensi klor
|
klor
|
Rasa lemah, cengeng
|
|
Defisiensi Fluor
|
Fluor
|
Resiko karies dentis (kerusakan
gigi)
|
|
Defisiensi krom
|
krom
|
Pertumbuhan kurang, sindroma
like diabetes melitus
|
|
Hipomagnesemia
|
magnesium
|
Defisiensi hormon paratiroid
|
|
Defisiensi Fosfor
|
Fosfor
|
Nafsu makan menurun, lemas
|
|
Defisiensi Iodium
|
Iodium
|
Pembesaran kelenjar gondok,
gangguan fungsI mental,
perkembangan fisik
|
BAB III
ANALISIS MASALAH
Kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini telah membangunkan
pemegang kebijakan untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber
daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat besar. Berdasarkan
angka human development index (HDI), Indonesia menduduki peringkat ke 112 di
dunia. Tidak tertutup kemungkinan peringkat ini akan bergeser ke posisi lebih
rendah (memburuk) apabila kondisi ini tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Kasus gizi buruk yang meningkat dan
sangat ramai dibicarakan sejak ditemukan di NTB, telah membuka mata kita
tentang masalah gizi anak balita. Kenyataan di lapangan, setelah NTB, hamper
seluruh daerah di Indonesia segera melaporkan adanya kasus gizi buruk di
wilayahnya. Fenomena ini kemungkinan berkaitan dengan pengalokasian dana yang
digulirkan oleh pemerintah (Pusat) untuk penanggulangan kasus gizi buruk.
Ironis memang.
Gizi buruk merupakan kejadian kronis
dan bukan kejadian yang tiba-tiba. Pertanyaan yang timbul adalah di mana
laporan hasil pemantauan status gizi berada dan ke mana laporan tersebut
dikirimkan selama ini? Secara teknis, mestinya laporan tersebut berada di Dinas
Kesehatan (untuk Daerah) dan Departemen Kesehatan (untuk Pusat). Secara teknis
pula, lembaga-lembaga tersebut bertanggungjawab atas kajian data hasil
pemantauan yang dilakukan secara berkala mulai dari tingkat Puskesmas, dengan
Posyandu sebagai ujung tombak sumber informasi. Demikian pula institusi rumah
sakit, merupakan unit pelayanan yang juga turut berkontribusi atas tersedianya
informasi kasus tersebut karena berkaitan dengan fungsinya sebagai pusat
rujukan kasus
Departemen Kesehatan telah
menyelenggarakan suatu pertemuan sosialisasi pencegahan dan penanggulangan gizi
buruk bagi pemegang kebijakan di Batam 6-8 Oktober 2005 (Regional I) dan di
Yogyakarta 11-13 Oktober 2005 (RegionalII). Pada pertemuan yang dihadiri oleh
para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Rumah Sakit Propinsi
se-Indonesia tersebut telah dibahas Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009, yang menginformasikan 70% dari anggaran
yang tersedia akan di fokuskan pada promosi kesehatan (dalam hal ini upaya
promotif dan preventif),.
BABIV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada 4 faktor yang melatarbelakangi KKP yaitu : masalah social, ekonomi, biologi,
dan lingkungan. Kemiskinan salah satu determinan social – ekonomi, merupakan
akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, dan tidak sehat serta
ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Malnutrisi masih saja
melatarbelakangi penyakit dan kematian anak. Kurang kalori protein sesungguhnya
berpeluang menyerap siapa saja, terutama bayi dan anak yang tengah
tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari
1 tahun, sementara kwashiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18
bulan. Penilaian status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin
setiap anggota masyarakat mendapatkan makanan yang cukup jumlah dan mutunya.
Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari. Kecukupan
zat gizi berpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak.Kasus gizi buruk
bukanlah jenis penyakit yang datang tiba-tiba begitu saja. Tetapi karena proses
yang menahun terus bertumpuk dan menjadi kronik saat mencapai puncaknya.
Masalah defisiensi gizi khususnya KKP menjadi perhatian karena berbagai
penelitian menunjukan adanya efek jangka panjang terhadap pertumbuhan dan
perkembangan otak manusia
B. Saran – saran
Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi
buruk terlambat seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat
penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi
buruk merebak barulah pemerintah melakukan tindakan ( serius ). Keseriusan
pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri.
Sebab, perilaku masyarakat yang sudah membudaya selama ini adalah, anak-anak
yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu
hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan.
Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data dan
informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan
bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Dan seharusnya para ibu
mengupayakan sesuatu yang terbaik untuk anaknya yang nantinya anak tersebut
dapat menolong sang ibu. Ibu jangan mudah menyerah hadapilah semuanya itu, saya
yakin pasti akan ada jalan keluarnya
DAFTAR PUSTAKA
- Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
- Fajar, Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
- Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta
0 komentar:
Posting Komentar